Mungkin jika aku boleh
memilih dan menentukan takdirku, aku ingin kita tak pernah mengenal satu sama
lain. Aku ingin kita hanya mengetahui bahwa kita adalah sesama seorang manusia
yang diciptakan oleh-Nya tanpa harus mengetahui namamu, tanpa harus mengetahui
kepribadianmu, tanpa harus mengetahui semua tentangmu.
Mengetahui semua yang
ada pada dirimu, membuat diriku seperti pecandu. Pecandu yang tak pernah bisa
berhenti terus menerus untuk memikirkanmu, rasanya otak ini hanya penuh dengan
semua tentangmu tanpa terkecuali.
Sampai tiba pada
saatnya malam itu, aku merasa hancur. Hancur berkeping-keping tanpa sisa. Semua
terasa seperti mimpi, mimpi yang teramat buruk yang pernah ku alami selama
hidupku. Aku masih merasa kita baik-baik saja seperti biasanya, aku masih
merasa kau tetap mencintaiku seperti tahun-tahun lalu, aku masih tetap merasa
hadirmu dan kenangan-kenangan kita dahulu, tapi itu sebelum aku mengetahui
kehadiran “wanitamu”.
Sampai detik ini pun
harapan-harapan kita, janji-janji kita, bahkan rencana-rencana kita ke depan
masih berada dalam ingatanku. Seharusnya aku tak pernah berharap terlalu penuh
dan jauh padamu, kurasa ini gila bahkan jauh lebih dari gila. Seharusnya aku
menyadari lebih awal jika berharap padamu akan menyakiti diriku sendiri, tapi
perasaanku mengalahkan segalanya termaksud akal sehatku. Mendadak aku merasa
seperti menjadi orang bodoh.
Malam itu, aku, kamu,
dan dia “wanitamu”. Entah
bagaimana dia “wanitamu” bisa
berada di dalam kita. Entah bagaimana kau bisa membagi dirimu, perhatianmu, dan
bahkan cintamu yang tadinya hanya untukku kepada “wanitamu” bahkan mungkin lebih besar kepada “wanitamu”.
Kau terlihat lebih
mementingkan “wanitamu” dibandingkan
aku, padahal aku yang lebih dulu mencintaimu selama beberapa tahun lalu. Tapi
kenapa kau memprioritaskan “wanitamu”
yang baru saja dua bulan mengenalmu? Apa karena kita jauh? Apa karena kau
bosan? Padahal kau sendiri yang membuat semuanya menjadi jauh, kau sendiri yang
menghindar secara perlahan, dan kau sendiri yang tak pernah mau memperbaiki
semuanya disaat rasa bosan itu muncul.
Kasih, jika ku boleh
jujur padamu tak hanya dirimu yang bosan saat itu, aku pun begitu! Tapi aku tak
pernah mencoba untuk menjauh darimu, bahkan aku selalu setia menunggumu. Ku
terima semua dengan cuma-cuma, ku balas sikap dinginmu tanpa banyak suara, dan
ku hargai semua bisumu yang hanya menghasilkan tanya.
Disini aku hanya tau
kau sibuk dengan urusanmu, masa depanmu, dan aku mencoba untuk mengerti hal
itu. Aku selalu mencoba untuk tak menuntut banyak hal darimu walaupun terkadang
aku ingin sekali meminta waktumu sedikit saja untukku. Tapi ku urungkan semua
niatku itu. Jangankan untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersamaku,
menghubungiku pun rasanya tak sanggup untuk kau lakukan.
Malam itu, di depan “wanitamu” aku memutuskan untuk
mengakhiri semuanya dan pergi meninggalkanmu. Aku tak peduli apa yang akan
terjadi selanjutnya antara kau dan “wanitamu”
setelah aku pergi, aku tak peduli apakah kalian akan melanjutkan hubungan kalian
setelah aku pergi. Aku sungguh tak peduli! Meskipun kau telah mengatakannya
sendiri kalau kau tak akan pernah melanjutkan hubunganmu dengan “wanitamu” setelah hubungan kita
berakhir, tetapi berbeda dengan “wanitamu”
pancaran sinar matanya mengharapkan bahwa kau akan tetap memilihnya setelah
kepergianku.
Disepanjang jalan
setelah meninggalkanmu, aku masih tak menyangka kita berakhir dengan cara
seperti ini! Cara yang paling aku benci! Sangat bodoh! Apa yang salah dari
diriku? Apa yang kurang dari diriku? Apa yang tak kau dapat dari diriku?
Sampai-sampai kau tega melakukan hal ini. Semua telah ku lakukan untuk mencoba
menjadi yang terbaik apapun itu demi dirimu, aku tak banyak menuntut ketika kau
berminggu-minggu tak menghubungiku, aku tak banyak menuntut ketika kita tak
pernah bertemu hingga sebulan lamanya, aku juga sudah tak seprotektif dulu
semenjak kau menuntut ilmu disana yang berbeda kota dengan ku walaupun kau
masih bersikap protektif padaku. Tetapi kenapa setelah ku biarkan kau malah
semakin ngelunjak bersikap semaumu tanpa menggunakan otakmu? Apa ini salahku
juga?
0 komentar:
Posting Komentar