CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 04 Maret 2016

Aku, Kamu dan Dia “Wanitamu”

Mungkin jika aku boleh memilih dan menentukan takdirku, aku ingin kita tak pernah mengenal satu sama lain. Aku ingin kita hanya mengetahui bahwa kita adalah sesama seorang manusia yang diciptakan oleh-Nya tanpa harus mengetahui namamu, tanpa harus mengetahui kepribadianmu, tanpa harus mengetahui semua tentangmu.
Mengetahui semua yang ada pada dirimu, membuat diriku seperti pecandu. Pecandu yang tak pernah bisa berhenti terus menerus untuk memikirkanmu, rasanya otak ini hanya penuh dengan semua tentangmu tanpa terkecuali.
Sampai tiba pada saatnya malam itu, aku merasa hancur. Hancur berkeping-keping tanpa sisa. Semua terasa seperti mimpi, mimpi yang teramat buruk yang pernah ku alami selama hidupku. Aku masih merasa kita baik-baik saja seperti biasanya, aku masih merasa kau tetap mencintaiku seperti tahun-tahun lalu, aku masih tetap merasa hadirmu dan kenangan-kenangan kita dahulu, tapi itu sebelum aku mengetahui kehadiran “wanitamu”.
Sampai detik ini pun harapan-harapan kita, janji-janji kita, bahkan rencana-rencana kita ke depan masih berada dalam ingatanku. Seharusnya aku tak pernah berharap terlalu penuh dan jauh padamu, kurasa ini gila bahkan jauh lebih dari gila. Seharusnya aku menyadari lebih awal jika berharap padamu akan menyakiti diriku sendiri, tapi perasaanku mengalahkan segalanya termaksud akal sehatku. Mendadak aku merasa seperti menjadi orang bodoh.
Malam itu, aku, kamu, dan dia “wanitamu”. Entah bagaimana dia “wanitamu” bisa berada di dalam kita. Entah bagaimana kau bisa membagi dirimu, perhatianmu, dan bahkan cintamu yang tadinya hanya untukku kepada “wanitamu” bahkan mungkin lebih besar kepada “wanitamu”.
Kau terlihat lebih mementingkan “wanitamu” dibandingkan aku, padahal aku yang lebih dulu mencintaimu selama beberapa tahun lalu. Tapi kenapa kau memprioritaskan “wanitamu” yang baru saja dua bulan mengenalmu? Apa karena kita jauh? Apa karena kau bosan? Padahal kau sendiri yang membuat semuanya menjadi jauh, kau sendiri yang menghindar secara perlahan, dan kau sendiri yang tak pernah mau memperbaiki semuanya disaat rasa bosan itu muncul.
Kasih, jika ku boleh jujur padamu tak hanya dirimu yang bosan saat itu, aku pun begitu! Tapi aku tak pernah mencoba untuk menjauh darimu, bahkan aku selalu setia menunggumu. Ku terima semua dengan cuma-cuma, ku balas sikap dinginmu tanpa banyak suara, dan ku hargai semua bisumu yang hanya menghasilkan tanya.
Disini aku hanya tau kau sibuk dengan urusanmu, masa depanmu, dan aku mencoba untuk mengerti hal itu. Aku selalu mencoba untuk tak menuntut banyak hal darimu walaupun terkadang aku ingin sekali meminta waktumu sedikit saja untukku. Tapi ku urungkan semua niatku itu. Jangankan untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersamaku, menghubungiku pun rasanya tak sanggup untuk kau lakukan.
Malam itu, di depan “wanitamu” aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya dan pergi meninggalkanmu. Aku tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya antara kau dan “wanitamu” setelah aku pergi, aku tak peduli apakah kalian akan melanjutkan hubungan kalian setelah aku pergi. Aku sungguh tak peduli! Meskipun kau telah mengatakannya sendiri kalau kau tak akan pernah melanjutkan hubunganmu dengan “wanitamu” setelah hubungan kita berakhir, tetapi berbeda dengan “wanitamu” pancaran sinar matanya mengharapkan bahwa kau akan tetap memilihnya setelah kepergianku.
Disepanjang jalan setelah meninggalkanmu, aku masih tak menyangka kita berakhir dengan cara seperti ini! Cara yang paling aku benci! Sangat bodoh! Apa yang salah dari diriku? Apa yang kurang dari diriku? Apa yang tak kau dapat dari diriku? Sampai-sampai kau tega melakukan hal ini. Semua telah ku lakukan untuk mencoba menjadi yang terbaik apapun itu demi dirimu, aku tak banyak menuntut ketika kau berminggu-minggu tak menghubungiku, aku tak banyak menuntut ketika kita tak pernah bertemu hingga sebulan lamanya, aku juga sudah tak seprotektif dulu semenjak kau menuntut ilmu disana yang berbeda kota dengan ku walaupun kau masih bersikap protektif padaku. Tetapi kenapa setelah ku biarkan kau malah semakin ngelunjak bersikap semaumu tanpa menggunakan otakmu? Apa ini salahku juga?